BERMAIN sulap bukan sekedar hobi lagi. Permainan ini semakin digemari, sehingga sudah mampu menghidupi pesulapnya. Tapi mereka mengeluh karena alat-alat sulap impor mahal dan disaingi pesulap luar negeri. Ada 3 jenis sulap, kata H Samlawi, Ketua I HISSI, Sulap yang mempergunakan banyak alat, disebut sulap manipulasi. Sulap yang berdasarkan ketrampilan, disebut sulap ilusi. Dan sulap faqir, sulap yang mempergunakan mistik.
Dalam Kongres HISSI 1975 di Bandung terpilih 3 jago sulap dari masing-masing jenis. Profesor Mahkota sebagai kampiun sulap manipulasi. Sonjaya sebagai pesulap ilusi. Dan Ki Santang Boudini sebagai pesulap faqir. Makan Beling Ki Santang Boudini kabarnya pernah mengejutkan kontes sulap sedunia di Brussel pada tahun 70-an. Lelaki usia 46 tahun (nama aslinya R. Budhi Muntarko) ini antara lain dapat membuat telur di dalam rantang menjadi ular sanca yang mendesis-desis. Ia juga bisa makan beling. Di Negeri Belanda seorang dokter sempat merontgennya saat ia selesai mengunyah beling. Tapi tidak ditemukan apa-apa di dalam tubuh pesulap ini. Di negeri itu pula kabarnya ia pernah mendapat hadiah dua mobil Mercy dari seorang pejabat setempat, setelah berhasil mengobati penyakit pejabat Belanda itu hingga sembuh. Ki Santang, jebolan Akademi Akuntansi Jakarta ini yakin bisa hidup dari sulap.
Sebelum menjadi pesulap, ia pernah bekerja sebagai pemegang buku di beberapa perusahaan. Karena penghasilan pesulap lebih banyak, pekerjaan semula ditinggalkannya. Di luar negeri sebenarnya ia bisa mendapat kesempatan lebih basah lagi. Sayang tidak ada izin kerja. "Daripada ribut diuber-uber polisi di negeri orang lebih baik cari makan di Tanah Air saja," katanya. Di Indonesia ia telah menjelajahi berbagai daerah. "Jika rajin, seorang pesulap dapat mengumpulkan uang sejuta setiap bulan, mas," ujarnya tenang. Ki Santang yang menggali ilmunya dari Banten, dibantu putrinya Susy (14 tahun). I
Ia sebenarnya menyesali sikap pesulap yang kadang-kadang mau main di bar-bar dengan bayaran murah. Tetapi kemudian ia dapat memaklumi hal itu karena adakalanya seseorang sangat membutuhkan uang untuk hidup. Ia sendiri main di bar dengan tarif Rp 25 ribu sekali main. Rumahnya di Bendungan Jago Kemayoran Jakarta, tidak hanya terkenal sebagai rumah tukang sulap. Ia juga dikenal dapat mengobati dengan metode hipnotis. "Jika ada yang sakit dan tak bisa sembuh oleh dokter, cobalah sama saya," katanya menawarkan. Di Jakarta, kehidupan tukang sulap memang sudah mulai lumayan. Perkembangan kota yang menelurkan hotel, bar, klub malam dan berbagai tempat hiburan banyak memberikan sudut buat profesi ini. Tersohor misalnya pasangan Jack dan Linda, suami istri pesulap yang laris dan terus berkembang. Mereka memiliki peralatan impor yang diimbangi ketekunan berlatih terus menerus. Karena rajin dan serius, sulap bisa menjadi tiang hidupnya. Dengan kepandaian itu pula ia sempat tetirah ke seantero Indonesia dan menjelajah Asia, Eropa dan Amerika. Jack, 36 tahun, belajar sulap sejak usia 15. la juga sempat menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran Trisakti -- sampai tingkat V. Ia menikah dengan Linda (32 tahun) teman kuliahnya sendiri pada 1972, setelah beberapa kali main sulap sama-sama.
Kini suami istri ini sudah menghasilkan seorang putri. "Saya hidup sehari-hari dari sulap. Dan saya tinggalkan kuliah juga karena sulap," kata Jack. Untuk sebuah pertunjukan komersial, tarif Jack sekali main Rp 300 ribu. Untuk ulang tahun atau bersifat amal, cukup Rp 50 ribu. Seringkali lebih murah jika ia kenal dengan orang yang mengundang. Ia memasang tarif (komersial) yang terbilang tinggi karena peralatan yang dipakainya bernilai jutaan. "Jika saya sebutkan nilainya orang tidak akan percaya, sebab alat-alat itu kecil-kecil saja," kata Jack. Baik Santang Boudini, Samlawi maupun pesulap lain, mengakui harga alat-alat sulap sangat mahal. Meja sulap saja bisa sampai Rp 100 ribu. Kartu sulap dan topinya masing-masing Rp 90 ribu dan Rp 100 rilu. Untunglah belakangan ini di Bandung sudah diproduksi alat-alat sulap lokal dengan harga jauh lebih murah dibanding jika diimpor. Tentu saja tidak semua pesulap sukses. Banyak di antaranya yang belum bisa hidup semata-mata dari sulap. Keluarga Samlawi sendiri, Ketua I HISSI itu mengatakan sulap belum dapat sepenuhnya dijadikan sandaran hidup. Padahal di keluarga itu, selain anak mereka yang tertua (6 anak) semuanya main sulap. Samlawi (45 tahun) mengakui sewaktu-waktu sulap memang memberikan rezeki yang lebih besar dari gajinya sebagai pegawai Bappenas. Misalnya pada 1976 untuk 5 hari main, Caltex di Riau memberinya honor Rp 400 ribu. Tapi itu hanya sekali-sekali. Ia paling banter dapat Rp 100 ribu kalau main di luar Jakarta. Dan hanya Rp 15 ribu sampai Rp 30 ribu untuk pesta-pesta biasa. Samlawi belajar sulap pada 1959 dari Ang Tek Tjoan yang waktu itu membuka "Petak Sulap" alias Magic Square di Rajawali Selatan -- Jakarta.
Setahun kemudian ia diangkat sebagai instruktur. Istrinya yang dinikahinya 1959 sekarang juga mahir main sulap. Pada hari-hari besar yang diselenggarkan ibu-ibu, Nyonya Samlawi sering menyumbangkan keahliannya. "Hasilnya lumayan. Hobi itu selain untuk tambahan nafkah, juga untuk hiburan," ujar Nyonya Afqoriah Samlawi. "Jika Pak Sam punya permainan baru, ia demonstrasikan kepada isi rumah. Rahasianya diberitahukan dan semua diajarkan cara memainkannya. Belajarnya lucu, kadang-kadang, ejek-ejekan satu keluarga," ungkap Nyonya Samlawi lagi. Samlawi sendiri, selain main juga mengajar sulap. Setiap murid wajib membayar Rp 20 ribu setiap bulan untuk 15 macam permainan . Bila setiap bulan mencapai 45 permainan, baru bisa dianggap sebagai pesulap. Selain itu, ia juga menguasai dan mengajarkan ilmu hipnotis. Untuk mempelajari ilmu ini, tiap siswa membayar Rp 75 ribu -- sampai ilmu itu dapat dikuasai. Untuk itu ia punya beberapa ekor kelinci yang dijadikan alat percobaan. Menurut Samlawi, semua orang bisa belajar sulap dan hipnotisme. Syaratnya hanya keberanian, ketekunan dan kemauan. Ketrampilan akan diperoleh kalau rajin berlatih. Setiap pesulap bisa saja gagal. Senjata pemungkasnya adalah ketenangan. Dengan dasar ketenangan, upaya untuk mengalihkan perhatian penonton dapat diatur. "Jika sudah biasa main di depan orang banyak, kegagalan satu permainan bahkan bisa menjadi tambahan hiburan lucu bagi penonton," ujarnya. Kini di Jakarta juga muncul pesulap anak-anak.
Di Kebayoran Lama, ada kakak beradik Linda dan Lucy. Mereka putri pesulap A. Dorry (40 tahun). Dalam 5 tahun terakhir ini Linda (13 tahun) dan Lucy (11 tahun) sangat aktif. Mereka sudah 3 kali main di depan Presiden Soeharto. Presiden pada 1978 menghadiahi mereka alat-alat sulap. Linda dan Lucy sudah main di berbagai daerah, bahkan sampai menerobos Singapura. Ia menguasai sekitar 100 permainan. "Pelajaran sekolah saya tidak terganggu, walaupun sering tour. Asal bisa mengatur waktu dan tekun belajar," kata Linda Oktaviana Dorry yang masih duduk di kelas I SMP. Di luar Jakarta, sulap tampaknya belum benar-benar dapat diandalkan sebagai pekerjaan utama. Hendrik (Han Ing Hwa) di Surabaya yang sudah mulai, main sulap sejak 1959, tidak berani menyebut dirinya profesional. "Saya masih kerja lain dan istri saya masih membantu," katanya kepada TEMPO. Padahal tarifnya lumayan. Kalau main di restoran atau di klub malam sampai Rp 140 ribu seminggu -- untuk waktu 15 menit setiap pertunjukan. Dikurs Fanta Hendrik tak mau menyebutkan berapa usianya. Takut kalau itu mempengaruhi simpati para penggemar. Tapi diperkirakan sekitar 40 tahun. Ia mempelajari sulap dari seorang dokter gigi. Ketika mula-mula muncul sebagai acara selingan dalam pementasan drama Mira Delima pada 1959, harian Surabaya Post mengritiknya dengan pedas. "Penonton terbahak-bahak melihat kecanggungan seorang tukang sulap, Han Ing Hwan, mempertunjukkan kebolehannya," tulis koran itu. Sejak itu semangat Hendrik berlipat. Kini Hendrik sudah cukup punya nama di bilangan Jawa Timur. Ia mengatakan keberhasilannya itu akibat dorongan istrinya. Untuk mempertahankan kualitas permainan, Hendrik banyak membaca, melihat permainan orang lain, berlatih dan membuat alat-alat sendiri di rumahnya. Dalam setiap pertunjukan ia berusaha untuk menampilkan permainan baru. Tapi yang paling disukainya adalah memperagakan sapu tangan menjadi burung. "Selain mudah, alatnya juga mudah didapat," ujarnya. Modal Hendrik adalah ketrampilan dan kelincahan tangan. Ia tidak mempergunakan mistik. "Itu tidak ada. Mungkin tukang sulap yang tidak modern yang pakai gaib-gaib itu," ujarnya. Pertunjukannya juga ada adegan potong leher dan makan silet, tapi semata-mata tipuan. Kalau mengadakan pertunjukan di daerah, seringkali panitia mengingatkannya supaya berhati-hati. Mereka biasanya berkata. "Hati-hati di sini banyak orang yang bisa main magic." Hendrik hanya tenang-tenang saja. Dan biasanya memang tidak pernah terjadi apa-apa. Tapi Hendrik mengeluh karena pesulap Indonesia belum bisa sepenuhnya menjadi ruan di rumah sendiri. Restoran, klub malam dan tempat-tempat hiburan lah, berdasarkan pengalamannya, lebih doyan pada pesulap luar negeri. Padahal baginya pesulap lokal tidak kalah dalam kemampuan. Dan honor yang diterima oleh pesulap luar negeri juga jauh lebih tinggi. "Kalau kita dikurs dengan rupiah, mereka dengan dollar. Kalau kita minum Fanta, mereka bir," keluh Hendrik.
sumber :http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1980/04/26/SD/mbm.19800426.SD53459.id.html