Sabtu, 31 Juli 2010

Berani 'Gaul' karena Sulap

Bocah itu meraung dengan wajah pucat-pasi saat digiring ke kamar praktek seorang dokter gigi. Sesaat matanya menyapu aneka peralatan yang tertata rapi di situ—mulai dari bor kecil hingga aneka "pengungkit" mini—yang serba tajam dan berkilat-kilat. Keruan saja si bocah tambah hebat mengerang saat akan didudukkan ke kursi pasien. Tak kehilangan akal, pemilik ruangan itu menjulurkan tangan ke kuping si bocah. Dan, simsalabim…, dari telinga anak itu keluarlah sejumput gula-gula. "Mau permen enggak?" dia membujuk sembari menyodorkan permen.

Pasien cilik itu ternganga keheranan dan menjadi sejinak merpati saat jarum suntik mulai bekerja. Juga ketika segala lubang di giginya diulak-alik. Dokter Gigi Willy—dia menolak disebut nama lengkapnya—memainkan sulap-sulap kecil dalam kamar prakteknya untuk memikat hati pasiennya, yang mayoritas anak-anak. Hiburan "pesulap" Willy tidak berhenti sampai di situ saja. Di kursi periksa, aneka pertunjukan kecil yang memakai peralatan gigi juga ia tampilkan. Alhasil, pasien bukan saja tidak sadar bila sudah disuntik, tapi juga ketagihan untuk kembali ke "Om Dokter".

Ide belajar sulap tebersit saat Willy menonton film Patch Adam, yang bercerita tentang dokter yang "menaklukkan" pasien dengan sulap-sulap kecil. Willy, yang berpraktek di sebuah kawasan di Jakarta Selatan, lantas mendatangi Deddy Corbuzier dua tahun silam. Dari pesulap profesional itulah—Deddy menyebut dirinya sebagai mentalist—Willy memetik ilmu sulap yang ternyata amat bermanfaat dalam menenangkan para pasiennya.

Willy hanyalah satu contoh dari sejumlah profesional yang mengantre belajar kepada Deddy Corbuzier. Mereka ingin mahir sulap dengan rupa-rupa alasan. Ada yang memanfaatkannya sebagai jembatan pergaulan dengan para klien ataupun rekan-rekannya. Bisa juga sekadar hobi. Atau sebagai arena mereka melatih konsentrasi dan analisis. Menurut Deddy, fenomena belajar sulap kini tengah merebak di kalangan profesional berusia 30-an tahun.

Fenomena belajar sulap kian berjangkit ketika keahlian para magician gencar ditayangkan di berbagai stasiun televisi swasta. Dari melihat hiburan itulah orang tertarik belajar sulap. Ada anak-anak yang belajar sulap sebagai permainan serta sebagai bagian dari khayalan dan keajaiban. Ada juga orang-orang dewasa, yang umumnya ingin belajar sulap untuk fun, senang-senang. Walau alasan yang mereka sodorkan adalah senang-senang, Deddy mengaku tidak asal memilih murid. Dia merasa harus tahu benar latar belakang profesi dan karakter mereka.

Murid-muridnya terdiri dari bankir, pengacara, anggota TNI, dokter gigi, serta para profesional lainnya. "Yang penting, saya harus tahu niat mereka. Kalau yang belajar pencopet, nanti makin pintar saja nyopetnya," kata Deddy dengan wajah serius. Untuk menampung para calon pesulap amatir ini, Deddy membuka semacam kelas sulap. Terletak di kawasan Bintaro, Jakarta Selatan, sekolah yang bernama Pentagram ini dibangun sesuai dengan citra pesulap. Mulai dari pagar, dinding, hingga garasi, seluruhnya dicat hitam. Di depan pintu masuk terdapat sebuah sangkar besi besar—juga dicat hitam—yang kelihatannya cocok untuk mengurung orang.

Desain interior di dalam rumah juga amat mendukung suasana belajar. Sebuah ruang tanpa sekat dikelilingi rak yang dipenuhi buku-buku, video, majalah, dan pernik-pernik sulap. Buku-buku karya mentalist asal Israel, Uri Geller, escapologist Harry Houdini, hingga video-video ilusionis David Copperfield berjajar di rak-rak. Alat-alat sulap, patung pemikir, tengkorak dengan jubah hitam, plus berbagai poster tertempel di dinding hitam. Seluruh nuansa sulap ini memperkuat aksen misterius dalam ruangan tersebut. Bahkan semua karyawan di sana mengenakan baju dan kaus hitam-hitam.

Sebagian murid dengan cerdik memanfaatkan berbagai trik yang mereka pelajari untuk memperluas pergaulan. Hendry—ia juga menolak disebut nama lengkapnya—adalah salah satu contoh. Berprofesi sebagai pengacara, Hendry terkadang harus menghadapi suasana tegang ketika berdialog dengan para kliennya. Tidak soal! Toh, ada sulap untuk mencairkan suasana. Di kantornya di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, ilmu dari Deddy ia praktekkan dengan jitu.

Saban kali suasana pertemuan dengan klien sudah kaku, dia meluncurkan kejutan-kejutan kecil. Mulai dari trik menggerakkan sendok sampai menghilangkan dan memunculkan kembali rokok atau uang. "Jika permainan disajikan secara proporsional pada saat yang tepat, pasti akan membuat suasana cair," kata Hendry, yang sudah belajar sulap selama satu tahun.

Sulap juga bisa digunakan untuk kebutuhan rumah tangga, terutama untuk menghindari pertengkaran. Jay Reyes, pekerja asing asal Filipina, mengakui manfaat belajar sulap yang seperti itu. Reyes, yang sudah belajar sulap selama setahun, biasanya mempraktekkan trik di dalam keluarga. "Kalau saya pulang telat, saya main sulap di depan anak-anak dan istri. Kontan, mereka tidak jadi marah," katanya. Reyes menambahkan, hal itu disebabkan oleh unsur hiburan yang selalu terkandung dalam sulap.

Apakah faktor hiburan semata yang membikin sulap menjadi penuh daya tarik? Pesulap Dui Montero merumuskannya sebagai berikut: ada rasa penasaran yang berakhir dengan kejutan. Dui, pesulap asal Yogyakarta, biasa menyajikan pertunjukan dengan cara yang ringan. Dia juga menerima murid-murid pemula. "Umumnya mereka belajar hanya untuk hobi," tuturnya.

Untuk mengajar para muridnya, Dui menyediakan alat-alat yang memang khusus disediakan untuk keperluan sulap. Misalnya kartu. "Itu tidak memerlukan keahlian, karena hanya untuk pergaulan," ujarnya. Berbeda dengan Dui, Deddy melihat sulap bisa juga menjadi sarana untuk meningkatkan kemampuan mempengaruhi orang. Hal serupa diakui pula oleh Hendry. Murid Deddy ini tadinya belajar sulap untuk "modal gaul". Tapi dia kemudian merasakan ada keuntungan lain yang lebih serius. "Dengan sulap, saya bisa meningkatkan kemampuan berkonsentrasi," katanya. Misalnya, pada trik permainan angka-angka atau menggerakkan suatu benda.

Tapi, bagaimana kaum yuppies itu masih sempat belajar sulap di tengah jadwal kerja mereka yang amat padat? Deddy Corbuzier memberikan jalan keluar: belajar dengan perjanjian. Mereka tetap bisa meneruskan pekerjaannya di kawasan bisnis "Segi Tiga Emas"—sebagian murid Deddy, misalnya, berasal dari sana—atau di bagian Jakarta mana pun. Si guru yang akan datang untuk menuangkan ilmu sulap sembari mereka bertukar pengalaman.

Lagi pula, apa susahnya melakukan itu bagi magician macam Deddy? Dia bisa menyetir dengan mata tertutup di kawasan padat lalu-lintas, bisa terjun bebas dari ketinggian. Jadi, siapa tahu dia juga bisa mengebaskan jubah Kaisar Ming-nya dan, simsalabim…, tanpa perlu repot-repot bertarung dengan kemacetan Jakarta, Deddy nongol di depan pintu rumah muridnya.

sumber :majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2003/03/03/GH/mbm.20030303.GH85502.id.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar